Jumat, 15 April 2011

Jakarta dan Semerawut


Kesemerawutan di Jakarta disebabkan akibat banyak faktor, salah satunya adalah penyalahgunaan tata guna lahan.

Dalam UU nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang disebutkan bahwa syarat minimal RTH adalah seluas minimal 30 persen dari total luas wilayah. Akan tetapi Jakarta baru memiliki sekitar 13,94 persen lahan terbuka hijau. Menambah luasan RTH di Jakarta juga berkaitan dengan ketidaktegasan dalam merumuskan detail tata ruang wilayah. Akibatnya, alih fungsi lahan menjadi marak. Pelanggaran hampir terjadi di seluruh wilayah hingga 70 persen. Peruntukan untuk lahan terbuka hijau dialihfungsikan untuk tempat bisnis dan hunian. Atau pendirian permukiman di sekitar bantaran sungai, yang tentu saja mengurangi daerah resapan air, sehingga seringkali terjadi banjir yang kemudian dapat melumpuhkan transportasi kota Jakarta. Selain itu, penyalahgunaan area permukiman menjadi area komersial kian marak. Seperti contohnya di daerah Kemang, daerah ini dulunya merupakan permukiman dan kemudian berubah fungsi menjadi kawasan komersial. Penyalahgunaan tata guna lahan juga terjadi di Perumahan Pondok Indah dan Puri Indah, beberapa rumah dijadikan sebagai tempat usaha oleh pemiliknya walaupun terdapat tulisan mengenai larangan rumah untuk dijadikan sebagai tempat usaha.



Pada kasus studi tentang perubahan fungsi lahan dari perumahan menjadi komersial menunjukkan adanya perubahan ekonomi kota Jakarta. Hal ini menyebabkan munculnya regime baru yaitu symbolic regimes. Kemunculan regime ini diindikasikan oleh beberapa indikator yang merupakan indikator dari symbolic regimes. Pertama, adanya perubahan ideologi kota ataupun image kota yang ditandai dengan kenaikan nilai jual obyek pajak (NJOP). Kenaikan NJOP ini memicu perubahan fungsi lahan dari rumah tinggal menjadi komersial karena akan lebih menguntungkan. Bila dipandang dari segi pemerintah kota, kebijakan untuk menaikkan NJOP ini mengindikasikan pergeseran image yang ingin dimunculkan terhadap Kemang dari kawasan permukiman menjadi kawasan komersial. Perubahan image ini berhasil terjadi dengan naiknya angka alih fungsi lahan dari hunian menjadi komersial. Hanya saja pemerintah tidak mengantisipasi kemungkinan lain yang terjadi dari perubahan ini dan terbukti dengan banyaknya protes warga.

Pemda DKI Jakarta sudah membuat aturan yang pada dasarnya dibuat untuk mengatur peruntukan fungsi rumah. Peraturan ini sudah ada sejak tahun 1977 dan dikeluarkan oleh Gubernur yang pada saat itu dijabat oleh Ali Sadikin. Peraturan ini tertuang di dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 203 Tahun 1977 yang berisi tentang ketentuan Pelaksanaan Larangan Penggunaan Rumah Tinggal untuk Kantor atau Tempat Usaha.

Tidak hanya SK Gubernur itu saja yang bisa dijadikan pegangan, tetapi masih ada peraturan yang dikeluarkan untuk menyempurnakan pelaksanaan SK Gubernur DKI Jakata No. 203 itu. Peraturan ini merupakan instruksi yang mempertegas SK Gubernur tersebut yang dikeluarkan tahun 1988 oleh Wiyogo Atmodarminto selaku Gubernur DKI Jakarta pada saat itu. Peraturan yang dinamakan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 135 Tahun 1988 tersebut, berisi larangan penggunaan rumah tinggal untuk kantor ataupun tempat usaha. Selain itu juga instruksi untuk tidak memberikan izin perpanjangan untuk kantor atau tempat usaha yang sudah berada di daerah pemukiman atau hunian. Melalui instruksi ini, Pemda juga memberikan peringatan terakhir bagi pemilik usaha atau kantor tersebut untuk mengalihkan lokasi usahanya ke tempat yang diperbolehkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar